LANDASAN
ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Landasan Pendidikan
Disusun Oleh:
Arif Ilmi
Haqim (1206760)
Iis Suryani (1203378)
Rina Suwangsih (1203385)
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS TASIKMALAYA
2012
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang
SWT. yang telah memberikan nikmat iman,
nikamt islam dan nikmat sehat wal’afiat, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Salawat dan salam mudah-mudahan tercurah limpahkan kepada nabi
akhirul zaman Nabi Muhammad Saw. kepada
keluarganya, sahabatnya dan kita semua, semoga mendapat syafaatNya. Amin
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Landasan Pendidikan.Selama pembuatan makalah ini, banyak
hambatan yang dihadapi penulis baik dari kekurangan pengetahun penulis sendiri
ataupun dari ketersedian sarana dan prasarana, namun berkat beberapa pihak yang
telah membantu baik berupa moril ataupun materiil, penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga Allah SWT.
membalas segala kebaikannya dengan pahala dan karunia yang setimpal, Amin.
Untuk itu tiada ungkapan yang paling tepat disampaikan kecuali, jazaakumullahhu khairan katsira.
Akhir kata penulis
sampaikan permohonan maaf apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Tasikmalaya,
November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang..
1.2 Rumusan
Masalah
1.3 Tujuan
Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Landasan Antropologi
2.2 Sejarah
Perkembangan Antropologi
2.3 Fungsi
Kebudayaan dalam Pendidikan
2.4 Implikasi
Pendidikan Berdasarkan Antropologi
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi
oleh Tuhan, setidaknya manusia diberikan panca indera dalam hidupnya. Namun
tentu saja potensi yang dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai
bekal dalam menjalani hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki
oleh kita sebagai manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan
membimbingnya, supaya berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Mengingat begitu besar dan berharganya potensi yang dimiliki
manusia, maka manusia harus dibekali dengan pendidikan yang cukup sejak dini.
Dilain pihak manusia juga memiliki kemampuan dan diberikan akal pikiran yang
berbeda dengan makhluk yang lain. Sedangkan pendidikan itu adalah usaha yang
disengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan
manusia agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya.
Secara sosiologi pendidikan adalah sebuah warisan budaya
dari generasi kegenerasi, agar kehidupan masyarakat berkelanjutan, dan
identitas masyarakat itu tetap terpelihara. Sosial budaya merupakan bagian
hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan hampir setiap
kegiatan manusia tidak terlepas dari unsur sosial budaya.
Dengan mempelajari metode pendidikan kabudayaan maka
antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan
secara hati-hati. Hal ini disebabkan
karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat
unik, sukar untuk dibandingkan sehingga
harus ada perbandingan baru yang besifat tentative. Setiap penyelidikan yang
dilakukan oleh para ilmuan akan memberikan sumbangan yang berharga dan
mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui khusus dan
percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistrmatis mengenai praktek
pendidikan dalam prespektif budaya, sehingga
antropologi menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya
yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya
sejumlah metode mengajar kurang efektif
dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di
lapanga oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengekploitasi
nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan
praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Untuk memberikan pemahan lebih lanjut mengenai antropologi,
antropologi pendidikan, sejarah perkembangan antropologi, fungsi kebudayaan
dalam pendidikan, dan implikasi
pendidikan dalam antropologi. Maka dalam makalah ini akan memaparkan landasan
antropologi pendidikan yang menjelaskan mengenai pembahsan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan landasan antropologi pendidikan?
2. Bagaimana
sejarah perkembngan antropologi?
3. Apa
fungsi kebudayaan dalam pendidikan?
4. Bagaiamana
implikasi pendidikan berdasarkan antropologi?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
yang dimaksud dengan landasan antropologi pendidikan,
2. Mengetahui
sejarah perkembangan antropologi,
3. Mengetahui
fungsi kebudayaan dalam pendidikan, dan
4. Mengetahui
impliksi pendidikan berdasarkan antropologi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Landasan Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang
ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis
tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang
Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa
yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa
fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat
tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama,
antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik
beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti
"manusia", dan logos yang
berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
sekaligus makhluk sosial. Para
ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
William
A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang
umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia
dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia.
David
Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir
dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang
mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk
fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun
pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia
dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku,
tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu
dengan yang lainnya berbeda-beda. Secara umum Antropologi adalah studi tentang
umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya
dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Sedangkan Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami
dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analsis berdasarkan
konsep-konsep dan pendekatan Antropologi.
2.2 Sejarah Perkembangan Antropologi
Seperti halnya Sosiologi,
Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam
perkembangannya. Koentjaraninggrat
menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut :
Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai
berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia,
hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal
baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka.
Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku
harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang
berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik,
kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan
yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan
etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik
perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19
perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari
sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha
untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi
tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir
evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara
perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap
bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan
menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka
mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh
pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di
Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika,
Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul
berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli,
pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta
hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa
berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk
itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa
di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan
pemerintah kolonial.
Pada fase ini, Antropologi
berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah
bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah
perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan
dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia
kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan
sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul
semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari
belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil merdeka.
Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa
yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu
antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi
juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami,
Flam dan Lapp.
2.3 Fungsi Kebudayaan dalam Pendidikan
Pendidikan dan
kebudayaan mempunyai pengaruh timbal balik. Bila kebudayaan berubah maka
pendidikan juga ikut bisa berubah dan bila pendidikan berubah akan dapat
mengubah kebudayaan. Disini tampak bahwa peranan pendidikan dalam mengembangkan kebudayaan adalah sangat besar.
Pendidikan dapat mengembangkan kebudayaan melalui tiga hal yaitu, organisasi,
difusi dan reinterpretasi. Sebab pendidikan adalah tempat manusia-manusia
dibina, ditumbuhkan dan dikembangkan potensi-potensinya. Semakain potensi
seseorang dikembangkan semakin mampu ia
menciptakan atau mengembangkan kebudayaan. Sebab kebudayaan dikembangkan oleh
manusia.
Pendidikan adalah
enkulturasi (Imran, Manan, 1989). Pendidikan adalah suatu proses membuat orang
kemasukan budaya, membuat orang berperilaku mengetahui budaya yang memasuki dirinya.
Enkulturasi ini terjadi dimana-mana, disetiap tempat hidup seseorang dan setiap
waktu. Dari sini muncul pengertian kurikulum yang sangat luas, yaitu semua
tempat hidup manusia. Sebab diamanapun orang berada disitulah terjadi proses
pendidikan, disitu terjadi enkulturasi. Sekolah adalah salah satu dari tempat
enkulturasi, tempat-tempat lain adalah keluarga, dalam perkumpulan pemuda,
perkumpulan olahraga, seni, keagamaan,
di tempat-tempat khusus dan latihan, dan sebagainya.
Enkulturasi dapat
membuat orang menjadi kaku dalam budaya itu sendiri. Ia hanya mampu berpikir,
berkata dan bertindak sesuai dengan budaya yang dipelajarinya. Hal seperti
ini tidak diharapkan oleh pendidik.
Pendidikan tidak ingin membuat manusia menjadi robot budaya A, budaya B, dan sebagainya. Karena itu
strategi dan metode dalam pendidikan perlu disempurnakan untuk menghindari
terjadinya robot-robot seperti itu.
Sejak dini anak-anak
perlu dididik berpikir kritis. Kemampuan untuk mempertimbangkan secara bebas di
kembangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara member kesempatan mengamati,
melaksanakan, menghayati, dan menilai kebudayaan itu. Cara ini membuat anak
tidak menerima begitu saja suatu kebudayaan melainkan melalui pemahaman dan
perasaan dikala berada dalam kandungan budaya itu. Cara ini membuat anak tidak
menerima begitu saja suatu kebudayaan melainkan melalui pemahaman dan perasaan
dikala berada dalam kandungan budaya itu, yang akhirnya menimbulkan penilaian
menerima, merevisi, dan menolak budaya itu. Pendidikan seperti ini membuat
anak-anak terbiasa dengan pemikiran yang terbuka dan lentur.
Suatu budaya
sesungguhnya merupakan bahan masukan atau pertimbangan bagi anak dan mengembangkan dirinya. Ada kalanya bagian
budaya akan terpakai terus, ada kalanya dibuang diganti dengan hal baru. Hal
ini bergantung kepada pembinaan pendidikan, pengaruh lingkungan, dan hasil
penilaian anak-anak sendiri. Untuk budaya yang mengandung nilai-nilai luhur
bangsa, perlu dipertahankan dan diinternalisasi oleh anak-anak. Hal ini
membutuhkan metode tambahan agar anak-anak menghayati indahnya nilai-nilai itu
sehingga ingin melaksanakan dalam kehidupannya.
G.D. Spindler
berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap
pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang
berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya.
Karber dan Smith
menyebutkan ada enam fungsi utama kebudayaan dalam kehidupan manusia, yaitu:
1. Pelanjut
keturunan dan pengasuh anak, penjamin kelangsungan hidup biologis dari kelompok
sosial,
2. Pengembangan
kehidupan ekonomi, menghasilkan dan memakai benda-benda ekonomi,
3. Transmisi
budaya, cara-cara mendidik dan membentuk generasi baru menjadi orang-orang
dewasa yang berbudaya.
4. Keagamaan,
menanggulangi hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan yang bersifat gaib
(supernatural),
5. Penilaian
sosial, cara-cara yang dilembagakan untuk melindungi kesejahteraan individu dan
kelompok,
6. Rekreasi, aktivitas-aktivitas yang member
kesempatan kepada orang untuk memuaskan kebutuhan akan permainan-permainan.
2.4 Implikasi Pendidikan Berdasarkan
Antropologi
1. Landasan
Histori Pendidikan
Pengaruh bangsa Portugis dalam
bidang pendidikan utamanya berkenan dengan penyebaran agama Katholik. Demi
kepentingan tersebut, tahun 1536 mereka mendirikan sekolah (Seminarie) di
Ternate, selain itu didirikan pula di Solo. Kurikulum pendidikannya berisi
pendidikan agama Katholik, ditambah pelajaran membaca menulis dan berhitung.
Pendidikan oleh kaum pergerakan
Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai Sarana Perjuangan Kemerdekaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan Nasional. Bagi bangsa Indonesia berbagai kondisi
yang sangat merugikan akibat kebijakan dan praktek-praktek penjajahan telah
menimbulkan rasa senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang dijajah sehingga
muncul rasa kebangsaan/nasionalisme.
Sejak Kebangkitan Nasional (1908)
sifat perjuangan rakyat Indonesia dilakukan melalui berbagai partai dan
organisasi, baik melalui jalur politik praktis, jalur ekonomi, social budaya,
dan khususnya melalui jalur pendidikan. Sifat perjuangan bangsa kita saat itu
tidak lagi hanya menitik beratkan pada perjuangan fisik. Mengingat cirri-ciri
pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Kolonial Belanda yang tidak memungkinkan
bangsa Indonesia untuk menjadi cerdas, bebas, bersatu, dan merdeka, maka kaum
pergerakan semakin menyadari bahwa pendidikan yang bersifat nasional harus
segera dimasukan ke dalam program perjuangannya.
Implikasi kekuasaan pemerintahan pendudukan
militer Jepang dalam bidang pendidikan di Indonesia yaitu :
1)
Tujuan
dan isi pendidikan diarahkan demi kepentingan perang Asia Timur Raya.
2)
Hilangnya
Sistem Dualisme dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang bersifat dualistis membedakan dua jenis sekolah untuk
anak-anak bangsa Belanda dan anak-anak Bumi Putera dihapuskan pada zaman
Jepang. Sekolah Desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi Sekolah
Pertama. Susunan jenjang
sekolah menjadi :
a. Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk sekolah pertama).
b. Sekolah Menengah 3 tahun
c. Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun
d. Perguruan Tinggi.
3) Sistem Pendidikan menjadi lebih
merakyat (populis)
Tujuan pendidikan Nasional. Sesuai
dengan Tap MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan,
maka dirumuskan bahwa Tujuan Pendidikan adalah untuk membentuk manusia
Pancasila sejati berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945.
Selanjutnya
dalam UU No. 2 Tahun 1989 ditegaskan lagi bahwa pendidikan nasional bertujuan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
2. Landasan Yuridis Pendidikan
Apabila Anda mengkaji alinea keempat
Pembukaan UUD 1945, disana tersurat dan tersirat cita-cita nasional dibidang
pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehubungan dengan ini,
Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.
Strategi Pembangunan Pendidikan Nasional meliputi :
1. Pelaksanaan
pendidikan agama serta akhlak mulia
2. Pengembangan
dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi.
3. Prose
pembelajaran yang mendidik dan dialogis.
4. Evaluasi,
akreditas, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan.
5. Peningkatan
keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan.
6. Penyediaan
sarana belajar yang mendidik.
7. Pembiayaan
pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan.
8. Penyelenggaraan
pendidikan yang terbuka dan merata.
9. Pelaksanaan
wajib belajar.
10. Pelaksanaan
otonomi manajemen pendidikan.
11. Pemberdayaan
peran masyarakat.
12. Pusat
pembudayaan dan pembangunan masyarakat, dan
13. Pelaksanaan
pengawsan dalam sistem pendidikan nasional.
3. Landasan Antropologis Pendidikan
a.
Pendidikan Sosial dan Enkulturasi
Sebagaimana kita maklumi, manusia
berbeda dengan hewan yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang
diperoleh sejak kelahirannya. Saat kelahirannya, manusia dalam keadaan tak
berdaya, karena naluri yang dibawa ketika kelahirannya relative tidak lengkap.
Ia belum memiliki sistem nilai, norma, pengetahuan, adat kebiasaan, serta belum
mengetahui dan belum dapat menggunakan dengan tepat berbagai benda sebagai
hasil karya masyarakatnya. Anak manusia harus belajar dalam waktu yang relative
lebih panjang untuk mampu melaksanakan berbagai peranan sesuai statusnya dan
sesuai kebudayaan masyarakatnya.
b.
Pendidikan sebagai Pranata Sosial
Pranata sosial adalah suatu sistem peran dan
norma social yang saling berhubungan dan terorganisasi disekitar pemenuhan
kebutuhan atau fungsi social yang penting.
Pendidikan Formal (Sekolah).
Pendidikan formal adalah pendidikan yang terstrukutr dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
(Pasal 1 ayat 11 UU RI No. 20 Tahun 2003).
Fungsi pendidikan Sekolah. Pendidikan sekolah dapat
dikemukakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
· Fungsi transmisi kebudayaan masayarakat;
· Fungsi sosialisasi (memilih dan mengajarkan peranan social);
· Fungsi integrasi social;
· Fungsi mengembangkan kepribadian individu/anak;
· Fungsi mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan;
· Fungsi inovasi/men-transformasi masyarakat dan kebudayaan.;
Pendidikan Informal yaitu pendidikan
yang berlangsung/terselenggara secara wajar atau secara alamiah di dalam
lingkungan hidup sehari-hari. Pendidikan informal antara lain berlangsung di
dalam keluarga, pergaulan anak.
a. Definisi.
Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang (pasal 1 ayat (12) UU RI No. 20 Tahun 2003).
b. Fungsi.
Pendidikan nonformal berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian professional.
c. Lingkup.
Pendidikan nonformal meliputi
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaran, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain
yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
d. Satuan Pendidikan.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis
taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang penulis peroleh dari makalah ini, yaitu :
1. Antropologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu dari kata ”antrophos” berarti manusia, dan “logos” berarti ilmu.
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk
sosial. Wiliam A. Haviland, Antropologi adalah studi tentang manusia,
berusahamenyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusi adan perilakunya
serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
2. Perkembangan antropologi terbagi
menjadi tiga diantaranya; Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an), Fase Kedua (tahun
1800-an), dan Fase Ketiga (awal abad ke-20).
3. Pendidikan
dan kebudayaan mempunyai pengaruh timbal balik. Bila kebudayaan berubah maka
pendidikan juga ikut bisa berubah dan bila pendidikan berubah akan dapat
mengubah kebudayaan. Disini tampak bahwa peranan pendidikan dalam mengembangkan kebudayaan adalah sangat besar.
3.2 Saran
Seharusnya di sekolah-sekolah juga perlu mengembangkan
antropologi pendidikan kurikulum agar anak didik serta pendidiknya mengerti dan
paham asal-usul mengapa kebudayaan di sekeliling kita diadakan, apa makna
dibalik kebudayaan tersebut, apa manfaat dari kebudayaan tersebut, relevankah
kebudayaan itu dengan kehidupan dan kepercayaan umat manusia sebagai manusia
yang beragama masa kini.
Pendidikan dan kebudayaan mempunyai pengaruh timbal balik.
Bila kebudayaan berubah maka pendidikan juga bisa ikut berubah dan bila
pendidikan berubah akan akan dapat mengubah kebudayaan. Semakin potensi
seseorang dikembangkan semakin mampu ia menciptakan atau mengembangkan
kebudayaan. Sebab kebudayaan dikembangkan oleh manusia. Pendidikan
multicultural perlu ditanamkan sejak dini baik melalui pendidikan formal maupun
non formal, agar anak memiliki rasa.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniasih.
2010. Landasan Pendidikan Sekolah Dasar. Bandung: Percikan Ilmu.
Syaripudin,Tatang.
2007. Landasan Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu.
Haviland,
William A, dan R.G. Soekadijo. 1985. Antropologi 4th Edition.
Jakarta: Erlangga.
Saefuddin,
Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma. Jakarta: Prenanda Media.
Aang.
2012. Antropologi pendidikan adan keterkaaitannya dengan kebudayaan. [online]. Tersedia: http://tanggihpratama.blogspot.com/2012/03/makalah-antropologi-pendidikan-dan.html.
16 November 2012.
Lucky
Zamzami, S.Sos. 2010. Antropologi Pendidikan. [online]. Tersedia: http://lzamzami.multiply.com/reviews/item/3?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem.
16
November 2012.
Ulfia
Rahmi. 2012. Antropologi Pendidikan. [online].
Tersedia: http://tepenr06.wordpress.com/2012/09/02/antropologi-pendidikan/.
16 November 2012.
Dian
Mutiarasari. 2012. Antropologi Pendidikan. [online].
Tersedia: http://dian-mutiarasari.blogspot.com/2012/05/makalah-antropologi-pendidikan.html.
16 November 2012.
NN.
2011. Landasan Antropologi Pendidikan dan Implikasinya dalam Setting Bimbingan
dan Konseling. [online]. Tersedia: http://qqjuangku.blogspot.com/2011/11/landasan-antropologi-pendidikan-dan.html.
16 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
I was waiting for his comments